PALU, CS – Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Aristan, menjadi salah satu narasumber dalam Workshop Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulteng yang digelar tanggal 29 hingga 30 April 2025.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) bersama Yayasan KEHATI melalui proyek Solusi Pengelolaan Lanskap Darat dan Laut Terpadu di Indonesia (SOLUSI).
Workshop yang dibuka secara resmi oleh Susanto Wibowo, Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Lahan (PDASRHL), mewakili Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, turut menghadirkan sejumlah narasumber seperti Kepala UPTD TAHURA Sulteng Edi Sitorus, serta akademisi kehutanan dari Universitas Tadulako (Untad), Dr. Sudirman Dg. Massiri.
Dalam paparannya, Aristan menekankan bahwa TAHURA Sulteng memiliki nilai strategis tidak hanya dari sisi ekologi, tetapi juga sosial dan budaya.
Ia menyoroti sejarah pengelolaan kawasan yang telah mengalami berbagai perubahan kelembagaan, serta pengurangan luas wilayah dari 7.128 hektar pada 1999 menjadi 5.195 hektar akibat alih fungsi sebagian lahan menjadi kawasan hutan produksi dan konsesi pertambangan.
“Secara ekologis, keberadaan TAHURA sangat vital sebagai daerah tangkapan air, termasuk bagi Sungai Paneki dan Sungai Pondo. Gangguan pada kawasan ini berkorelasi langsung dengan menurunnya debit air dan meningkatnya bencana banjir,” tegas Aristan.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan, mengingat ada lima kelurahan di Kota Palu dan tiga desa di Kabupaten Sigi yang menggantungkan hidup dari kawasan tersebut.
“TAHURA Sulteng bukan hanya habitat flora dan fauna endemik seperti Anoa, Burung Maleo, dan Kayu Cendana, melainkan juga ruang hidup masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan harus mengakomodasi konservasi, riset, pariwisata, dan pelestarian budaya,” ujarnya.
Aristan menegaskan komitmen DPRD Sulteng untuk mendukung penguatan regulasi serta alokasi anggaran yang memadai bagi pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.
Sementara itu, Susanto Wibowo menyampaikan bahwa TAHURA Sulteng tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pemanfaatan ruang, aktivitas ilegal, dan lemahnya perencanaan berbasis kolaboratif.
Ia menyebut penyusunan dokumen rencana pengelolaan yang adaptif dan partisipatif sebagai kebutuhan mendesak.
Susanto mengusulkan agar dokumen pengelolaan ke depan dibangun dari aspirasi bersama, memuat data pemetaan sosial-ekonomi, zonasi yang jelas, serta strategi pemanfaatan kawasan berbasis konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Ia juga menekankan pentingnya keselarasan dengan kebijakan nasional, seperti target FOLU Net Sink 2030.
Koordinator Program ROA untuk proyek SOLUSI, Urib, menambahkan bahwa workshop ini bertujuan menyusun draft rencana pengelolaan yang mengintegrasikan aspek ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya melalui pendekatan multipihak.
Ia berharap kegiatan ini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan dalam pengelolaan konservasi yang inklusif.
Proyek SOLUSI sendiri merupakan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Jerman melalui Inisiatif Iklim Internasional (IKI), yang bertujuan mengatasi degradasi bentang alam dan laut dengan memperkuat ketahanan ekosistem dan mata pencaharian adaptif terhadap perubahan iklim.
Editor : Yamin