Perkembangan teknologi informasi yang semakin massif sepatutnya menjadi keuntungan bagi suatu Negara. Berkat kecanggihan teknologi, berbagai informasi yang beberapa dasawarsa lalu sulit diperoleh, dewasa ini menjadi mudah. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, lembaga-lembaga pemerintah pun ramai-ramau menyediakan informasi apa saja yang dibutuhkan publik. Ironis sebab informasi yang meluber ini tidak diikuti oleh kesadaran literasi publik. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan, UNESCO (Organisasi Dunia di bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan) menyebut Indonesia urutan terbawah soal lierasi dunia. Kondisinya memprihatinkan, yaitu hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca. Meskipun minat baca rendah, orang Indonesia rupanya bisa menatap layar telepon genggam hingga 9 jam per hari (data wearesocial 2017), dan menjadi pengguna media sosial terbanyak kelima di dunia (menurut Semiocast, lembaga independen di Paris).
Apa yang bisa dibayangkan dari pengguna media sosial yang tinggi namun tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang memadai? Tentu saja status-status yang terlontar di berbagai platform media sosial tersebut berpotensi berbau ujaran kebencian, tanpa analisis, mudah menghakimi, bersifat kekanak-kanakan, dan berbagai pendapat bermuatan pesismistis lainnya. Situasi ini menjadi tantangan bersama, bukan hanya pada pemerintah, melainkan pula oleh orang tua dan guru-guru pendidik di sekolah tempat penulis mengabdi. Orang tua berperan membatasi pergaulan anak-anaknya di rumah terhadap gadget dan mengarahkan anak-anak untuk membaca minimal satu jam dalam sehari. Adapun guru memiliki peran strategis untuk membantu memotivasi anak-anak peserta didik untuk membaca dan meningkatkan budaya literasi.
Rabu Literasi
Sebagai pendidik yang berinteraksi dengan peserta didik selama delapan jam sehari, guru perlu menyediakan waktu khusus setiap hari agar anak-anak dapat membaca. Sekolah bisa memberikan peran yang maksimal dalam menciptakan budaya literasi di sekolah, di antaranya dengan menyediakan bahan-bahan bacaan penunjang untuk membuat suasana membaca menjadi lebih menyenangkan. Bacaaan penunjang tersebut bisa bersumber dari buku-buku bacaan, komik, majalah, serta surat kabar umum. Khusus sekolah dasar, bahan bacaan berupa buku, majalah dan koran bisa merangsang minat anak-anak unntuk membaca dikarenakan sumber-sumber bacaan tersebut menyediakan beraneka gambar yang disukai anak-anak.
Sebagai pendidik, penulis berupaya menangkap kegelisahan sebagian rekan-rekan sesama guru dalam meningkatkan minat baca anak di sekolah kami. Walaupun selama ini telah berupaya memotivasi budaya literasi, namun upaya yang dilakukan para guru belum terbungkus dalam sebuah program yang menggerakkan dan seragam. Sejalan dengan hal tersebut, didorong dengan dukungan kepala sekolah dan guru, maka penulis kemudian menawarkan satu jenis program literasi yang dapat dilaksanakan bersama seluruh warga sekolah. Program tersebut bernama ‘Rabu Literasi’. Rabu Literasi adalah sebuah gagasan untuk melaksanakan literasi membaca dan juga menulis pada setiap hari Rabu di setiap pekan. Hari Rabu dipilih mengingat pada hari tersebut merupakan hari pertengahan dalam aktivitas belajar di sekolah setiap pekan. Pada hari ini, pada setiap jam yang sudah ditentukan, anak-anak akan melakukan budaya literasi di sekolah, baik itu bercerita, membaca, maupun menulis dengan tema-tema yang sudah ditentukan. Tentu saja seluruh aktivitas lierasi siswa ini dilaksanakan dalam pantauan dan bimbingan guru. Oleh karena literasi juga perlu dipahami dengan baik dan benar oleh para guru, maka pada waktu tertentu penulis dan guru melaksanakan diskusi seputar program Rabu Literasi yang sudah dilakukan. Evaluasi terhadap pelaksanaan program juga dilakukan, khususnya untuk mengetahui kendala dan kebutuhan para anak.
Hasil dan Tatangan
Tidak ada proses yang hasilnya dapat dilihat dengan segera, demikian halnya dengan program Rabu Literasi yang telah dicanangkan di SD Negeri 3 Palu. Walaupun demikian, program tersebut telah menunjukkan kondisi yang positif bagi kebutuhan warga sekolah. Ada perkembangan yang meskipun belum berlangsung secara signifikan, namun anak-anak mulai menyukai budaya baca. Evaluasi yang dilakukan bersama oleh guru-guru di sekolah menunjukkan masih perlunya dukungan waktu yang lebih lama untuk mengetahui sejauh mana efektivitas program ini. Mengingat selama ini, pembelajaran lebih banyak dilakukan secara dalam jaringan (daring) dikarenakan pembatasan belajar di sekolah akibat pandemi Covid-19. Bentuk Rabu Literasi dapat dilaksanakan masing-masing oleh guru. Boleh jadi, di salah satu kelas, sesaat sebelum melaksanaan pembelajaran zoom meeting, guru akan menyilakan beberapa anak untuk bercerita. Boleh jadi pula di hari itu, ada guru yang menyudahi pembelajaran dengan menugaskan siswa membuat karangan atau cerita pendek dengan tema-tema diberikan.
Untuk dapat memaksimalkan program ini, terkhusus merespons antusiasme warga sekolah, diperlukan satu model alat ukur. Pendekatan pengukuran tersebut dapat dilaksanakan dengan menggabungkan respons warga sekolah secara kualitatif dan kuantitatif. Memang Rabu Literasi merupakan program inisiatif guru penggerak yang sangat baik untuk meningkatkan budaya literasi siswa. Hanya saja dalam pelaksanaannya beberapa waktu terakhir, penulis menemukan beberapa kendala yang menjadi catatan. Pertama, program literasi baca mengalami tantangan di tengah kebijakan nasional mengenai pembelajaran secara online. Diperlukan metode khusus agar program literasi tetap dapat efektif di tengah pembelajaran siswa secara jarak jauh ini. Kedua, kunci pelaksanaan Rabu Literasi ada pada guru, sehinggga setiap guru perlu memiliki pemahaman mumpuni mengenai literasi ini. Pemahaman guru juga perlu senantiasa menyita perhatian melalui bahan-bahan bacaan yang juga mendukung gerakan ini.
Rencana Perbaikan di Masa Mendatang
Sejalan dengan berbagai catatan yang diperoleh dalam penerapan Rabu Literasi di sekolah penulis selama ini, dalam kesempatan ini ada beberapa hal yang kiranya perlu menjadi bahan perbaikan. Penguatan literasi dalam program Rabu Literasi mash bertitik fokus pada sekolah. Pertama, sekolah memprogramkan buku bacaan wajib anak-anak. Hal ini dapat menunjang setiap anak di berbagai tingkatan kelas untuk senantiasa memiliki bahan bacaan. Keberadaan penerbit Negara yang kompoten bisa ikut berkotribusi di sini, sedangkan sekolah bisa mengadakan buku-buku bacaan wajib tersebut melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sehingga tidak lagi membebani orang tua siswa. Kedua, dalam jangka menengah dan jangka panjang, sekolah dapat memanfaatkan program-program animasi dalam menunjang literasi anak. Bahan-bahan bacaan bersumber sains dan teknologi bisa diperkenalkan dalam ragam tampilan animasi. Pun demikian dengan buku-buku bacaan digital, secara bertahap juga dapat diperkenalkan kepada anak untuk memenuhi kebutuhannya terhadap informasi. Ketiga, penting kiranya pada saat bersamaan, orang tua di rumah juga dapat berpartisipasi mengawal literasi budaya baca pada anak dengan program-program sederhana. Salah satunya menyediakan waktu khusus setiap pekan untuk berdiskusi atau bercerita, di samping ada anggaran khusus yang disediakan keluarga untuk membeli satu buku setiap bulan. Semoga dengan ikhtiar bersama, literasi ikut mendorong kualitas anak-anak di Indonesia, secra khusus di Palu, Sulawesi Tengah. ***
Penulis, Guru SDN 3 Palu : Nurul Idayati, S.Pd