Sulawesi Tengah hari ini berada di tengah momentum penting dalam menegakkan kembali keadilan sejarah. Setelah puluhan tahun mewarisi perjuangan pendidikan dan dakwah Islam, rakyat Sulawesi Tengah kini dengan mantap mengusulkan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau yang dikenal sebagai Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional.
Namun di tengah proses yang penuh semangat itu, muncul gelombang narasi yang merusak arah perjuangan ini. Narasi yang menyudutkan latar belakang Guru Tua sebagai keturunan Arab, yang menyebut bahwa tanah Alkhairaat adalah pemberian Belanda, dan yang menyebar provokasi agar publik menolak usulan pahlawan karena alasan identitas. Semua ini disuarakan oleh Gus Fuad Plered, tokoh yang belakangan ramai karena pernyataan-pernyataan kontroversialnya.
Bagi kami di LMND Kota Palu, ini bukan sekadar persoalan perbedaan pendapat. Ini adalah pengingkaran terhadap sejarah lokal, pemutarbalikan fakta perjuangan, dan bentuk nyata politik identitas yang mengancam persatuan bangsa.
Guru Tua datang ke Palu tahun 1929 bukan untuk membawa dominasi luar, tapi untuk membaur dan membela masyarakat tertindas. Ia menikahi perempuan pribumi Kaili, hidup bersama rakyat, dan membangun pendidikan Islam yang inklusif. Lembaga Alkhairaat, yang ia dirikan pada 1930, hingga kini menjadi institusi terbesar pendidikan Islam di wilayah timur Indonesia.
Klaim bahwa tanah Alkhairaat adalah pemberian penjajah Belanda adalah distorsi sejarah. Faktanya, tanah itu adalah hibah dari istri Guru Tua sendiri, seorang perempuan lokal yang memberikan tanah miliknya untuk mendukung perjuangan suaminya dalam mendidik umat.
Guru Tua tidak pernah mendirikan lembaga eksklusif untuk keturunan Arab. Ia mendidik semua golongan, semua etnis, semua kelas sosial. Justru ia adalah simbol pembauran nilai Islam dengan kearifan lokal, bukan simbol dominasi identitas asing.
Jauh sebelum Guru Tua, ada Datokarama (Sayyid Idrus bin Hasan al-Bahasyimiy) yang datang ke tanah Kaili pada abad ke-17. Ia adalah pembawa Islam pertama di Palu, dan ia juga membaur dengan masyarakat lokal, tanpa membawa semangat superioritas garis keturunan.
Datokarama dan Guru Tua adalah dua sosok yang disatukan oleh nilai, bukan darah. Nilai perjuangan untuk rakyat, nilai Islam yang membebaskan, dan nilai pendidikan yang memberdayakan. Mereka adalah bagian dari sejarah lokal Sulawesi Tengah yang tidak bisa direduksi hanya sebagai “keturunan Arab”.
Narasi anti-Ba’alawi yang dibawa Gus Fuad mungkin berkembang di Jawa, di tengah dinamika sosial yang berbeda. Namun memaksakan narasi itu ke Palu adalah ahistoris dan sembrono. Di sini, masyarakat tidak melihat garis nasab sebagai pemisah, tapi justru melihat nilai dan perjuangan sebagai pemersatu.
Gus Fuad tidak hanya menghina tokoh besar Palu, tapi juga sedang memecah belah umat dengan membawa politik identitas yang tidak sesuai dengan konteks sosial masyarakat Sulawesi Tengah.
Sebagai organisasi mahasiswa yang mengemban ideologi Pancasila, kami di LMND Kota Palu mengecam keras pernyataan Gus Fuad Plered. Pernyataannya tidak hanya menciderai sejarah dan perjuangan rakyat Palu, tapi juga merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai Pancasila, terutama:
– Sila ke-3: Persatuan Indonesia, yang mengamanatkan persatuan di atas perbedaan identitas, etnis, dan latar belakang.
– Sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang menuntut penghormatan atas perjuangan tokoh-tokoh dari daerah, termasuk dari kawasan timur.
Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak terprovokasi dan tetap fokus pada upaya bersama untuk mengusulkan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional.
Saat ini yang paling dibutuhkan bukanlah debat identitas yang memecah belah, melainkan kerja kolektif untuk memenuhi seluruh syarat administratif dan historis dalam pengusulan Guru Tua. Ini mencakup dokumentasi sejarah, penguatan kajian akademik, dukungan masyarakat sipil, dan pengawalan kebijakan pemerintah daerah dan pusat.
Pengusulan ini bukan hanya soal kebanggaan lokal, tapi bentuk keadilan sejarah nasional, agar tokoh-tokoh perjuangan dari Indonesia Timur tidak lagi disisihkan dalam historiografi nasional.
Kita harus waspada terhadap aktor-aktor yang justru ingin mengalihkan perhatian publik dari substansi perjuangan. Gus Fuad dan narasi sejenisnya bukan hanya tidak relevan, tapi juga berpotensi menghancurkan semangat persatuan yang dibangun oleh tokoh-tokoh seperti Guru Tua dan Datokarama.
Guru Tua adalah tokoh pembebasan, bukan penguasaan. Ia adalah simbol Islam yang membumi, bukan yang mengasingkan. Ia adalah tokoh Indonesia Timur yang telah membaktikan hidupnya untuk pendidikan dan kemajuan umat, tanpa pamrih, tanpa mengedepankan asal-usul darah.
Kami di LMND Kota Palu menegaskan kembali bahwa menolak Guru Tua atas dasar keturunan adalah penghinaan terhadap sejarah, rakyat, dan Pancasila itu sendiri. Dan sudah saatnya bangsa ini memberikan tempat yang layak bagi tokoh seperti beliau dalam daftar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Penulis : Jalal Arianza (Ketua LMND Kota Palu)