BANGGAI, CS – Polemik kasus PT Teku Sirtu Utama (TSU) menuai beragam pendapat publik. Selain diduga tidak mengantongi izin pengolahan galian C, pendirian pabrik sirtu juga ditenggarai berdiri dibekas Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan tanah negara dan telah diperjual belikan.
Dengan tidaknya mengantongi izin resmi galian C, maka, perusahaan milik Rocky Martianus tersebut harus segera menghentikan aktivitas pengolahan batu picah berkapasitas 350 ton perhari tersebut.
Menurut Hasrudin L, yang merupakan mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kabupaten Banggai, bahwa kegiatan pabrik sirtu tersebut, merupakan kegiatan yang bernilai usaha, karena ada sesuatu yang diolah untuk diperjualbelikan.
Berdasarkan sejumlah informasi yang didapatnya kata Hasrudin, ada banyak masalah yang kejadiannya hampir sama dengan kasus PT TSU saat ini. Hanya saja, pada beberapa perusahaan yang dianggap melakukan penambangan tidak mengantongi kelengkapan dokumen tersebut telah dihentikan aktivitasnya dan tidak lagi menjadi penyuplai material.
Jika mencermati proses awal sampai perusahaan diresmikan dan telah beroperasi kata Hasrudin, ada begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahan. Mulai dari pembelian lahan bekas DAS, pengerukkan pasir pantai tanpa izin dan pengolahan batu picah tanpa dokumen amdal.
Dengan tidak didasari oleh izin dan dokumen lainnya sebagai syarat melakukan kegiatan pengolahan galian C, maka batu picah yang selama ini telah diperjual belikan kepada pihak manapun, adalah ilegal.
Dalam ketentuan tersebut ditegaskan, tidak hanya pelaku galian C tanpa izin yang bisa dipidana, tapi juga para penadah yang membeli hasil galian C ini. Karena pengolahan galian C dilakukan secara ilegal, otomatis barang yang dihasilkan juga ilegal. Sesuai dengan pasal 480 KUHP, barang yang dibeli atau disewa dari hasil kejahatan itu dapat dipidana.
Sehingga kemungkinan besar ada dugaan pelanggaran pidana dalam kegiatan tersebut. Sebagai mana ditegaskan dalam UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU 4 Th 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Penegasan soal sanksi juga sebagaimana Pasal 158, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Demi mencegah kegiatan pengelolaan batu picah terus berlanjut dan terus memberikan dampak kerusakan pada lingkungan sekitar, Hasrudin berharap, pada peninjauan lokasi sebagaimana direncanakan oleh Komisi II DPRD Banggai, diharapkan dapat melibatkan pihak aparat penegak hukum agar bisa menghentikan sementara kegiatan perusahaan, termasuk memberikan larangan penggunaan material pada proyek-proyek APBD dan APBN.
Sebelumnya, Syafruddin Husain, SH.,MH.,yang merupakan sekretaris Komisi I DPRD Banggai, menegaskan, masalah ini perlu seriusi karena adanya beberapa kemungkinan terjadi pelanggaran pidana akibat kegiatan perusahaan yang tidak memiliki izin. Selain itu juga ada dugaan telah terjadi jual beli tanah milik negara, maka kasus ini harus lebih didalami lagi. Bahkan jika perlu sampai pada pembentukan pansus oleh DPRD Banggai. (AMLIN)