Di tanah Parigi Moutong yang dahulu hijau dan permai, sungai-sungai mengalir jernih, membelai lembut bebatuan, dan menyanyikan lagu kehidupan bagi mereka yang bergantung padanya. Airnya menjadi cermin langit, tempat anak-anak bermain, ibu-ibu membilas pakaian, dan petani mengairi sawah yang menguning.
Namun kini, jeritan sungai itu seakan menggema di seluruh pelosok desa, membawa kisah pilu tentang tanah yang terkoyak.
Di pagi yang biasanya diwarnai nyanyian burung dan desir angin, Desa Taopa Utara, Desa Paria, dan Desa Gio Barat kini dihantui bayang-bayang kecemasan.
Sungai yang dulu menyajikan kesejukan kini berwarna keruh, membawa butiran lumpur yang tak lagi sekadar tanah, tetapi jejak dari kerakusan manusia. Limbah tambang ilegal mencemari air, menodai sumber kehidupan, dan menyisakan derita bagi mereka yang tak berdaya.
Ibu Murni, seorang wanita paruh baya yang sejak kecil bergantung pada sungai itu, duduk di tepi aliran yang kini tak lagi bersih. Jemarinya meraba-raba air, berharap kejernihan itu kembali, tapi hanya rasa getir yang ia dapatkan.

Tak jauh dari tempatnya duduk, sekelompok anak kecil masih bermain, meski air sungai tak lagi mengundang.
“Kami dulu suka berenang di sini,” ujar Satria, bocah berusia delapan tahun. Namun, kini kulitnya kadang gatal-gatal, dan ibunya melarangnya bermain di air. Masa kecil yang seharusnya penuh kebebasan, kini dikungkung oleh ketakutan.
Di seberang sungai, pohon-pohon yang dulunya berdiri gagah kini tersisa sebagai bayangan kelam. Pepohonan yang merangkul tanah, menahan air, dan menjadi rumah bagi burung-burung kini digantikan oleh tanah merah yang terpanggang matahari.
Tak ada lagi nyanyian burung, tak ada lagi gemericik air yang menenangkan. Yang ada hanya suara alat-alat berat yang terus mengeruk bumi, seolah-olah tak pernah kenyang menelan apa yang masih tersisa.
Namun, di tengah gelapnya kenyataan, ada cahaya kecil yang masih menyala. Para pemuda dan mahasiswa di Taopa tak tinggal diam. Mereka bersuara, menuntut keadilan bagi sungai yang telah lama menjadi ibu bagi kehidupan mereka. Mereka menginginkan jawaban dari pemerintah, dari mereka yang memiliki kuasa untuk menghentikan luka ini.
“Ini bukan hanya tentang air yang kotor. Ini tentang kehidupan kami, tentang warisan untuk anak-anak kami,” tegas seorang mahasiswa dengan mata penuh semangat.
Di kejauhan, senja perlahan turun, mewarnai langit dengan jingga yang merona. Sungai Taopa masih mengalir, meski nadinya melemah. Ia seakan berbisik, berharap ada tangan yang sudi menyelamatkannya, sebelum ia benar-benar mati dalam sunyi.
Editor : Yamin